Coba Anda jawab pertanyaan berikut: Apakah Anda bersedia menderita?
Apakah Anda senang menderita? Jika Anda sudah pernah menderita, apakah
Anda bersedia menderita sekali lagi? Saya berani bertaruh, bahwa jawaban
dari semua pertanyaan tadi, adalah tidak. Ya, Anda tentu tidak senang
dan tidak bersedia menderita (lagi).
Bagaimana dengan pertanyaan ini, jika Anda tahu bahwa kehidupan yang
Anda jalani ke depan—sekali lagi—akan penuh dengan penderitaan, apakah
Anda bersedia untuk tetap hidup? Untuk pertanyaan yang satu ini, tentu
jawabannya ya. Sebabnya, jika Anda menjawab tidak, ini berarti Anda
tengah menyongsong proses meregang nyawa.
Jadi, jika penderitaan tak tertelakkan, mengapa Anda tidak
menerimanya sebagai ‘sahabat’ yang bakal bersama hingga ajal tiba? Ya,
mengapa tidak menelaah manfaat dari penderitaan? Manfaat terbesar dari
penderitaan yakni untuk mendekatkan diri kepada Tuhan. Seperti pemeo,
“Adalah masalah yang mendorong orang untuk datang kepada Tuhan, bukan
sebaliknya”.
Kecuali jika Anda penganut paham ateis, jika Anda tertimpa masalah,
naluri Anda yang pertama adalah mencari pertolongan. Tak peduli apakah
Anda meminta pertolongan Tuhan terlebih dulu, atau bahkan menempatkan
Dia sebagai yang terakhir dalam daftar sumber-sumber yang dimintai
tolong, Ia toh tetap Anda hubungi.
Di Alkitab, sejauh mana atau seberapa besar penderitaan yang dialami
bukan yang utama, melainkan bagaimana si penderita menanggapi
penderitaan itu. Apakah ia menghasilkan buah? Apakah ia semakin dekat
kepada Tuhan, atau justru memilih untuk tidak mempercayai Tuhan?
Paulus sendiri berulang kali ‘menginstruksikan’ orang percaya, untuk
tetap bersukacita dan bergembira meski tengah menderita. Maksud Paulus,
bersukacita di sini bukan berarti memaksakan penderita untuk
terus-menerus tersenyum, seolah semuanya baik-baik saja. Melainkan,
dengan tetap di dalam Tuhan, maka ada keyakinan dan pengharapan bahwa
penderitaan itu akan berakhir, seperti syair miliki seniman Erros
Djarot, “Badai pasti berlalu”, demikian juga dengan penderitaan. Dan,
jika Anda merasa ingin menangis atau meratap selama menderita, itu pun
sah-sah saja, karena Yesus pun ketakutan setengah mati menjelang masa
penderitaanNya. Asal, sukacita yang ada di dalam diri Anda, tetap kokoh.
Manfaat dari lain penderitaan—yakni jika Anda menderita karena
kebenaran—adalah mengambil bagian dalam sengsara Kristus, yang berarti
turut serta dalam kemuliaanNya. Penderitaan juga memberi kesempatan bagi
Allah untuk membentuk dan menguji pertumbuhan kualitas kerohanian kita.
Ingatkah Anda masa-masa di mana Anda sedang bertumbuh? Tubuh Anda
kerap merasa pegal karena otot-otot tubuh Anda sedang menggeliat,
bersiap-siap untuk bertumbuh dan berkembang hingga batas yang maksimal.
Ini berarti kesakitan adalah unsur yang mesti ada dalam pertumbuhan.
Dengan demikian, jelas sudah bahwa penderitaan yang dialami orang
percaya, diijinkan Allah untuk kebaikan. Seperti yang diutarakan penulis
kawakan Phillip Yancey, “Di manakah Allah ketika penderitaan itu begitu
menyengat? Ia ada di dalam kita, untuk menghasilkan yang baik dari yang
buruk. Bukan sengaja menciptakan kesakitan untuk menghasilkan kebaikan.
Sama sekali tidak.”
Dan, jika Anda tengah menderita kini, biarkan 2 Korintus 1:3-4
menguatkan Anda: “Terpujilah Allah, Bapa Tuhan kita Yesus Kristus, Bapa
yang penuh belas kasihan dan Allah sumber segala penghiburan, yang
menghibur kami dalam segala penderitaan kami, sehingga kami sanggup
menghibur mereka, yang berada dalam bermacam-macam penderitaan dengan
penghiburan yang kami terima sendiri dari Allah”.
Mengenai Saya
- oLv!_!r3Ne MakaDjaDi
- ''mengucap syukurlah selalu dalam segala hal, terlebih khusus pada saat kamu mendapatkan teguran dari Tuhan...karena pada saat kamu mengalami teguran itu, berarti Allah mengasihi kamu lebih dari yang kamu tau, oleh sebab itu Ia menegur sebab teguranNya memberi tanda bahwa Ia sangat mengasihiMu''
Senin, 07 Januari 2013
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar